Senin, 13 Mei 2013
In:
Islamiyah
HATI SEDIH DAN PENGOBATANNYA MENURUT ISLAM
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seringkali
berlindung kepada Allah dan mohon dijauhkan dari rasa sedih dan susah. Beliau
sering berdo’a :
{ اللَهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الهَمِّ وَالحُزْنِ, وَمِنَ
العَجْزِ وَالكَسَلِ, وَمِنَ الجُبْنِ وَالبُخْلِ }
“Wahai Allah, aku mohon lindung kepada-Mu dari rasa
sedih dan susah, dari rasa lemah dan malas, dan dari sifat pengecut dan kikir”
Manusia hidup di dunia memang pasti merasa sedih dan
susah, sebab sifat ini menjadi naluri manusia itu sendiri. Oleh karena ini,
topik pembicaraan kita saat ini adalah tentang kesedihan secara umum, dan
bagaimana Islam mengobatinya.
Setiap orang di dalam hidupnya pasti mengalami ujian
dan cobaan. Manusia tetap manusia. Suatu ketika pasti diuji dan dicoba oleh
Allah. Sebab memang demikianlah manusia diciptakan, sebagaimana firman Allah :
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur
yang Kami hendak mengujinya , karena itu Kami jadikan dia mendengar dan
melihat”. (QS. Al-Insaan : 2). Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.”. (QS.
Al-Balad : 4). Maksudnya, dia berada di dalam bersusah payah sejak dia
dilahirkan.
Sejak lahir manusia sudah keluar menangis. Ini
pertanda bahwa di dalam hidupnya dia harus menjawab segala macam ujian. Tidak
semua yang diharapkan pasti diperolehnya. Di dalam kehidupan ini banyak hal-hal
yang datangnya secara spontanitas. Tidak terduga sebelumnya, terkadang
kehilangan orang yang dihormati dan dicintai. Terkadang kehilangan harta,
keluarga, bahkan harus meninggalkan tanah air. Tabiat kehidupan di dunia sama
pula dengan tabiat manusia itu sendiri yang serba penuh ujian dan kesedihan.
Allah befirman di dalam Al-Qur’an : “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan
kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar”.(Al-Baqarah :155).
Kalau manusia pada umumnya pasti mendapatkan ujian,
betapa pula orang mu’min yang pasti lebih besar pula dia untuk mendapatkan
ujian. Sebab itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menegaskan di dalam
haditsnya :
{ أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ
فَالأَمْثَلُ. يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى قَدَرٍ دِيْنِهِ. فَإِنْ كَانَ دِيْنُهُ
صَلْبًا اشتَدَّ بَلاَءً. وَإِنْ كَانَ فِي دِيْنِهِِ رِقَّةٌ –يَعْنِي ضَعْفٌ-
ابْتَلِي عَلَى قَدَرٍ دِيْنِهِ. وَمَايَزَالُ البَلاَءُ يَنْزِلُ بِالعَبْدِ
حَتَّى يَمْشِيَ عَلَى الأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ خِطِيْئَةٌ.}
“Manusia yang paling hebat cobaannya adalah para nabi.
Kemudian yang paling sepadan, dan seterusnya dan seterusnya. Seseorang dicoba
sesuai kadar agamanya. Jika agamanya kuat, hebatlah cobaannya. Jika dalam agamanya
lemah, dia dcoba sesuai ukuran agamanya. Cobaan selalu saja menimpa seorang
hamba, sehingga dia berjalan di atas bumi tanpa menanggung sebuah dosapun.”
Dari sinilah, Al-Qur’an yang diturunkan di Makkah,
ketika orang-orang beriman menderita dengan berbagai macam cobaan dan
penyiksaan kaum kafir ketika itu, maka diturunkanlah awal-awal surat
Al-‘Ankabut yang berbunyi : “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?”. (QS.
Al-‘Ankabut :2). Adakah di sana iman tanpa cobaan dan ujian?! .” Dan
sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar. Dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-‘Ankabut : 3). Begitulah di masa
periode perjuangan Islam di Makkah. Adapun di Madinah, setelah umat Islam
tinggal di sana dan mereka mengira selamat dari ujian dan cobaan, ternyata
datang pula berbagai macam ujian yang bertubi-tubi. Datanglah perang Uhud,
datang pula ujian perang Khandaq. Allah befirman : “Disitulah diuji orang-orang
mu’min dan digoncangkan dengan goncangan yang sangat”. (QS. Al-Ahzaab : 11)
Maka turunlah ayat : “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal
belum datang kepadamu sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?
Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan sehingga
berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya : “Bilakah datangnya
pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat
dekat”.(QS. Al-Baqarah : 214). Mereka menunggu pertolongan Allah, dan merasa
terlambat datangnya sehingga bertanya-tanya : “Bilakah datangnya pertolongan
Allah?”. Akhirnya Allah menegaskan : “Ingatlah! Sesungguhnya pertolongan Allah
itu amat dekat!”. Kalau kita memperhatikan kehidupan para nabi, maka yang dapat
kita ketahui adalah sarat dengan berbagai macam ujian dan cobaan yang beruntun.
Coba perhatikan kehidupan Nabiyullah Yusuf ‘Alaihi Sallam. Di dalamnya sarat
dengan peristiwa-peristiwa berdarah yang bertubi-tubi. Peristiwa demi
peristiwa. Pertama kali saudara-saudara seayahnya sepakat untuk membunuhnya.
Kata mereka : “Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah supaya
perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu
menjadi orang-orang yang baik”.(QS. Yusuf :9). Di antara mereka yang paling
mempunyai rasa kasih sayang berkata : “Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi
masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir,
jika kamu hendak berbuat.”. (QS. Yusuf : 10). Lalu mereka melemparkan Yusuf ke
dalam jurang itu seperti halnya mereka melemparkan batu. Kemudian cobaan
berikutnya Nabi Allah yang mulia ini dijual seperti halnya mereka menjual
kambing. Allah berfirman : “Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah,
yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada
Yusuf “. (QS. Yusuf : 20). Cobaan berikutnya Yusuf menjadi pelayan, seperti
halnya kaum sahaya. Cobaan berikutnya, Yusuf dipenjara seperti halnya kaum
penjahat, sehingga tinggal di penjara beberapa tahun lamanya. Ada pula cobaan
berat, yaitu ujian digodanya isteri pembesar negeri itu. Begitulah rentetan
ujian yang menimpa Nabiyullah Yusuf ‘Alaihi Sallam.
Coba lagi kita menengok ujian yang menimpa Nabiyullah
Musa ‘Alaihi Sallam. Sejak dilahirkan beliau sudah harus menjawab ujian. Pada
waktu itu dia telah siap untuk disembelih oleh Fir’aun. Kemudian Allah ilhamkan
kepada ibunya agar ia menjatuhkannya ke sungai. Allah berfirman : “Dan
janganlah kamu khawatir dan janganlah bersedih hati, karena sesungguhnya Kami
akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya dari para rasul” (QS.
Al-Qashash :7). Maka kehidupan Musa as penuh dengan hal-hal yang menyedihkan.
Demikianlah kehidupan para nabi, sehingga orang mu’min tidak sepantasnya
menunggu kehidupan yang selamat dari setiap kesedihan dan kesusahan. Hidup
serba selamat dari kesedihan dan kesusahan bukan tabiat kehidupan dunia.,
melainkan tabiaat kehidupan di surga, sedang di dunia belum ada surga. Sebab itu,
hendaklah orang mu’min bersabar menahan diri di dalam menerima segala beban
hidup di dunia ini. Allah berfirman : “Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka
sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan”. (QS. Ali
‘Imran :186)
Ujian, susah dan sedih adalah aturan-aturan rabbani
yang pasti terjadi kepada setiap orang. Dan setiap orang akan teruji sesuai
ukuran imannya.
Kesedihan dan kesusahan akan menimpa manusia atas
beberapa faktor. Baik internal ataupun eksternal. Paling berbahaya adalah
factor internal, akibat penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh kemajuan dunia
kapitalis barat, sehingga menimbulkan keresahan dan kesedihan mendalam bahkan
putus asa yang terkadang membuat orang bunuh diri. Terbukti hal ini di Negara
Swedia, sebuah negara barat yang terkenal paling sering terjadi orang bunuh
diri, walaupun Negara tersebut adalah Negara paling mewah dan tingkat
ekonominya paling tinggi. Bahkan di sana terkenal dengan jaminan kesejahteraan
sosial bagi kaum lansia, tuna karya, kaum anak dan ibu. Namun demikian, masih
saja bertindak dengan tindakan yang paling rendah, yaitu pergi dan bunuh diri
apabila dirudung kesedihan, patah hati atau jatuh failid.Berbeda dengan kita
umat Islam yang dilindungi oleh iman. Semoga Allah senantiasa melindungi kita.
Manusia sedih berdasarkan tingkat berfikirnya.
Susahnya orang kecil tidak seperti susahnya orang besar. Karena itu, kesedihan
itu kembalinya kepada faktor-faktor tertentu. Kesedihan dapat menimpa kepada
segala lapisan orang, baik dia orang biasa, orang lemah keperibadian atau orang
kuat dan sehat. Tapi pada hakekatnya, ketika seseorang dihadapkan kepada ujian,
pasti dia berfikir bagaimana cara menanggulanginya. Mampukan dia atau tidak.
Biasanya, kalau tidak mampu dia menjadi resah dan sedih. Kesedihan inilah yang
terkadang membuat dia terlempar jauh dari agama, serta tidak tahu bagaimana
bertawakkal kepada Allah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar