Rabu, 22 Mei 2013
In:
Islamiyah
MEMBALAS ITU TIDAK TERLARANG
Suatu
hari ˜Aisyah yang tengah duduk santai bersama suaminya, Rasulullah saw,
dikagetkan oleh kedatangan seorang Yahudi yang minta izin masuk ke rumahnya
dengan ucapan Assamu’alaikum(kecelakaan bagimu) sebagai ganti
ucapan Assalamu’alaikum kepada Rasulullah.
Tak lama
kemudian datang lagi Yahudi yang lain dengan perbuatan yang sama. Ia masuk dan
mengucapkanAssalamu’alaikum. Jelas sekali bahwa mereka datang dengan
sengaja untuk mengganggu ketenangan Rasulullah. Menyaksikan pola tingkah
mereka, Aisyah gemas dan berteriak: Kalianlah yang celaka!
Rasulullah
tidak menyukai reaksi keras istrinya. Beliau menegur, Hai
˜Aisyah, jangan kau ucapkan sesuatu yang keji. Seandainya Allah menampakkan
gambaran yang keji secara nyata, niscaya dia akan berbentuk sesuatu yang paling
buruk dan jahat. Berlemah lembut atas semua yang telah terjadi akan menghias
dan memperindah perbuatan itu, dan atas segala sesuatu yang bakal terjadi akan
menanamkan keindahannya. Kenapa engkau harus marah dan berang?”
“Ya
Rasulullah, apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan secara keji
sebagai pengganti dari ucapan salam?”
“Ya, aku
telah mendengarnya. Aku pun telah menjawabnya wa’alaikum (juga atas kalian),
dan itu sudah cukup.”
Manusia
agung, Muhammad saw ini lagi-lagi memberikan pelajaran yag sangat berharga
kepada istrinya, yang tentu saja berlaku pula bagi segenap kaum muslimin.
Betapa beliau telah menunjukkan suatu kepribadian yang amat matang dan sangat
dewasa dalam menghadapi berbagai keadaan. Begitu kokoh pemahaman dirinya,
sehingga tidak mudah terpancing amarahnya. Suatu pengendalian emosi yang luar
biasa.
Sebagai
istri, ‘Aisyah tentu tidak rela manakala suami tercintanya menerima ucapan keji
dan busuk, sebagaimana yang diucapkan oleh orang Yahudi. Darahnya segera
mendidih, dan tanpa kendali keluarlah dari kedua bibirnya kata-kata keji pula
sebagai balasan atas mereka.
Apa yang
dikatakan oleh ‘Aisyah sebenarnya dalam batas kewajaran. Ia tidak berlebihan
dalam mengumpat dan mengata-katai mereka. Ia hanya membalas secara setimpal apa
yang mereka ucapkan. Akan tetapi Rasulullah belum berkenan terhadap ucapan
istrinya. Beliau ingin agar ‘Aisyah mengganti ucapannya dengan satu kata yang
lugas tapi tetap sopan. Rasulullah berkata, Wa’alaikum, itu sudah
cukup.’
Urusan salam
ini nampaknya sederhana, tapi dalam Islam mendapatkan porsi perhatian yang
cukup besar. Salam merupakan pembuka kata dalam setiap perjumpaan, baik
perjumpaan di udara maupun di darat (tatap muka). Salam bahkan menunjukkan
kepribadian seseorang.
Orang yang
secara tiba-tiba berkata-kata tanpa didahului oleh salam bisa dianggap kurang
etis atau tidak sopan. Apalagi jika akan memasuki rumah orang. Bahkan nada
suara, ekspresi wajah, dan gaya penampilan ketika mengucapkan salam menjadi
perhatian yang sangat besar.
Lebih dari
itu, orang bisa langsung mengetahui identitas agama seseorang dari salamnya.
Jika ada penyiar televisi atau narasumber yang diwawancarai mengucapkan
assalamualaikum, segera kita ketahui bahwa orang tersebut beragama Islam. Demikian
juga bila menggunakan salam yang lain.
Masalahnya
kemudian, bagaimana jika Assalamu’alaikum sudah menjadi
tradisi nasional, sehingga warga non-muslim juga mengucapkan hal yang sama?
Banyak di antara kita yang kelagapan menerima ucapanAssalamu’alaikum dari
kawan atau kenalan yang nyata-nyata bukan muslim. Ada yang menjawab denganwa’alaikum
salam, tapi ada yang justru tidak menjawab sama sekali.
Urusan salam
ternyata telah diajarkan oleh Islam sangat rinci sekali. Termasuk jika kita
mendapatkan ucapanAssalamu’alaikum dari orang non-muslim. Dalam hal
ini kita cukup menjawab mereka dengan ucapan:wa’alaikum. Kenapa
demikian?
Ada dua
alasan. Yang pertama, menjaga hubungan baik dan kesopanan. Dengan ucapan
waalaikum mereka merasa mendapatkan respon baik dari kita. Mereka tidak merasa
diacuhkan. Sebaliknya mereka merasa dihormati dan diterima.
Alasan
kedua, dengan hanya menjawab wa’alaikum, maka berarti kita tidak mendoakan
kepada mereka. Sebab doa seorang muslim kepada non-muslim itu tidak diterima.
Kecuali mendoakan agar mereka mengikuti jalan kebenaran, yaitu Islam. Dengan
Islam mudah-mudahan mereka selamat di dunia dan di akhirat.
Nabi Ibrahim
adalah seorang anak yang sangat mencintai dan menghormati ayahnya. Itulah
sebabnya ia berdoa agar Allah menyelamatkan bapaknya. Akan tetapi perbuatan
Ibrahim itu mendapat teguran dari Allah, karena bapaknya masih musyrik,
menyembah berhala.
Demikian
juga Nabi Muhammad saw, beliau sangat mencintai Abu Thalib, pamannya. Lewat
perlindungan pamannya inilah jiwanya selamat dan misinya berhasil. Tapi karena
sampai akhir hayatnya Abu Thalib belum juga menyatakan beriman kepada Allah,
maka Muhammad saw terhalang mendoakannya.
Inilah adat
kesopanan yang diajarkan Islam. Kepada orang yang tidak seagama, kita tetap
harus berbuat baik. Apalagi jika orang tersebut telah berjasa kepada kita.
Kepada orang tua yang non-muslim misalnya, kita harus berbuat baik. Termasuk
jika mereka memerintahkan berbuat maksiat, kita harus tetap berbuat baik kepada
mereka, walaupun perintahnya tidak kita jalankan.
Demikian
juga kepada orang yang jelas-jelas menunjukkan permusuhannya, kita tidak boleh
terpancing berbuat keji dan kotor. Sebisa mungkin kita mengendalikan diri. Jika
kita berniat membalasnya, maka balasan itu hendaknya setimpal, tidak boleh
berlebihan. Pilihlah kata-kata yang tegas, lugas, tapi tetap sopan.
Dalam ajaran
Islam membalas itu tidak terlarang, akan tetapi memaafkan itu lebih baik. Jika
benar-benar kita ingin membalas, balasan itu hendaknya tidak lebih dari yang ia
terima. Berlebih-lebihan dalam pembalasan merupakan tindak kezhaliman. Allah
berfirman:
“Bulan haram
dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum
qishas. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia
seimbang dengan serangan terhadapmu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah,
bahwa Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (QS. al-Baqarah: 194)
Tidak
seperti agama lain yang mengajarkan bahwa bila pipi kananmu dipukul berikan
pipi kirimu. Bila jubahmu diminta berikan bajumu. Ajaran ini justru tidak
manusiawi, sebab sangat memberatkan mereka yang dizhalimi. Islam mengajarkan
agar seseorang bisa memberi balasan setimpal dengan apa yang telah diterimanya.
Meskipun demikian, memaafkan itu jauh lebih baik.
Seperti
dalam kasus Aisyah di atas, jelas bahwa Aisyah sangat bisa membalas ucapan keji
orang Yahudi. Apalagi saat itu Rasulullah bukan saja sebagai pemimpin ruhani,
tapi sekaligus merupakan kepala negara yang berkuasa. Apa susahnya membalas
orang yang menghinanya, sedang menjebloskan mereka ke tahanan saja itu
merupakan haknya. Tapi Rasulullah sebagai manusia agung memilih untuk memberi
balasan yang secukupnya.
Keperkasaan
seseorang tidak bisa diukur dari kekuatan fisiknya. Orang yang jantan, bukan
mereka yang ahli bertinju, bukan mereka yang di setiap pertandingan tak
terkalahkan. Menurut determinasi Islam orang yang kuat adalah mereka yang
dikala marah bisa menahan dirinya. Rasulullah bersabda, “Bukan
dikatakan pemberani karena seseorang cepat meluapkan amarahnya. Seorang pemberani
adalah mereka yang dapat menguasai diri (nafsu)-nya sewaktu marah.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Menahan
marah bukan pekerjaan mudah. Menuntut perjuangan yang amat berat lagi susah,
apalagi bagi mereka yang sedang mempunyai kemampuan dan kekuasaan untuk meluapkan
kemarahannya. Akan tetapi justru di sinilah seseorang itu dinilai, apakah layak
disebut ksatria atau tidak. Seorang ksatria adalah yang mampu menahan marahnya,
akan tetapi jika kezhaliman itu sudah melampaui batas, ia mampu membalasnya,
setimpal dengan perlakuan orang tersebut. Orang yang seperti ini akan mendapat
jaminan dari Allah berupa kecintaan yang mendalam.
Rasulullah
bersabda:
“Ada tiga hal yang jika dimiliki seseorang, ia akan mendapatkan
pemeliharaan dari Allah, akan dipenuhi dengan rahmat-Nya, dan Allah akan
senantiasa memasukkannya dalam lingkungan hamba yang mendapatkan cinta-Nya,
yaitu (1) seseorang yang selalu bersyukur manakala mendapat nikmat dari-Nya,
(2) seseorang yang mampu meluapkan amarahnya tetapi mampu memberi maaf atas kesalahan
orang, (3) seseorang yang apabila sedang marah, dia menghentikan marahnya.” (HR.
Hakim).
Dalam
menghadapi situasi yang cenderung memancing emosi, manusia dapat dibedakan
dalam tiga tipe. Pertama, orang yang tidak merasa marah padahal penyebabnya ada.
Kedua, orang yang merasa marah tetapi mampu menahan amarahnya dan mau
memaafkan. Sedang ketiga, mereka yang merasa marah, mampu menahan marah, tapi
tidak bisa memaafkannya. Dari ketiga kategori ini tentu saja golongan pertama
yang lebih utama. Mereka disebut telah memiliki hilm, sifat sabar yang sangat
besar. Sabar di atas sabar. Sifat ini telah dimiliki Rasulullah saw, dan telah
dibuktikan dalam berbagai peristiwa.
Tentang
sifat hilm ini Rasulullah bersabda, “Maukah aku ceritakan kepadamu
tentang sesuatu yang menyebabkan Allah memuliakan bangunan dan meninggikan
derajatmu? Para sahabat menjawab, tentu. Rasul bersabda, Kamu bersikap sabar
(hilm) kepada orang yang membencimu, memaafkan orang yang berbuat zhalim
kepadamu, memberi kepada orang yang memusuhimu, dan menghubungi orang yang
telah memutuskan silaturrahim denganmu.” (HR. Thabrani).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Total Tayangan Halaman
10176
0 komentar:
Posting Komentar