Kamis, 16 Mei 2013
In:
Fiqih~Sholat
SHOLAT DUHA
Keutamaannya:
Sesungguhnya shalat dhuha itu termasuk diantara amalan sunnah yang dianjurkan,
dan ia memiliki keutamaan yang sangat besar. Dan telah disebutkan dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwasanya beliau bersabda:
«يُصْبِحُ عَلَىٰ كُلِّ سُلاَمَىٰ مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ.
فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ. وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ. وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ
صَدَقَةٌ. وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ. وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ.
وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ. وَيُجَزِىءُ، مِنْ ذٰلِكَ، رَكْعَتَانِ
يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَىٰ».
“Pada tiap
pagi ada kewajiban sedekah untuk tiap-tiap persendian, dan tiap tasbih adalah
sedekah, tiap tahlil adalah sedekah, tiap tahmid adalah sedekah, tiap takbir
adalah sedekah, menganjurkan kebaikan adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran
adalah sedekah dan yang bisa mencukupi semua itu adalah dua rakaat (shalat
sunnah) yang dilakukan di waktu dhuha.” (HR Muslim, Ahmad dari Abu Dzar
Radhiallahu ‘Anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
« قَالَ
اللهُ تَعَالىَ : يَا ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِيْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ
النَّهَارِ أَكُفُّكَ آخِرَهُ » .
“Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Wahai bani Adam, ruku’lah kepada-Ku empat
rakaat pada awal siang hari, niscaya Aku cukupkan bagimu sampai akhir hari.”
(HR Tirmidzi dari Nu’aim al-Ghathfani, Imam Albani menshahihkannya dalam kitab
al-Jami’ ash-Shahih; 4439).
Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhu dia berkata, “Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam mengutus pasukan perang, maka mereka mendapat ghanimah
(rampasan perang) dan mereka cepat kembali, maka orang-orang membicarakan
tentang peperangan itu dan banyaknya ghanimah yang mereka dapatkan serta
kepulangan mereka yang cepat, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
« أَلاَ
أَدُلُّكُمْ عَلىَ مَا هُوَ أَقْرَبُ مِنْهُمْ مَغْزىً وَأَكْثَرُ غَنِيْمَةً
وَأَوْشَكُ رَجْعَةً ؟ مَنْ تَوَضَّأَ ثُمَّ غَدَا إِلىَ الْمَسْجِدِ لِسَبْحَةِ
الضُّحىَ، فَهُوَ أَقْرَبُ مَغْزىً وَأَكْثَرُ غَنِيْمَةً وَأَوْشَكُ رَجْعَةً»
“Maukah aku
tunjukkan pada kalian apa yang lebih dekat dari peperangan mereka, dan lebih
banyak ghanimah serta kepulangan yang lebih cepat? Barang siapa yang berwudhu
kemudian pergi pada waktu pagi ke masjid untuk melakukan shalat dhuha,
maka hal itu adalah peperangan yang paling dekat dan ghanimah yang pa;ing
banyak dan akan segera kembali.” (HR. Thabrani dan lainnya).
Shalat dhuha merupakan shalatnya al-Awwabin (orang orang yang kembali kepada
Allah), Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda mengenai mereka,
صَلاَةُ
اْلأَوَّابِيْنَ إِذَا رَمَضَتِ الْفِصَالُ
“Shalatnya
para Awwabin adalah apabila anak onta bangun karena mulai panas tempat
berbaringnya.” (HR. Muslim). Dan makna Ramadhat adalah telah terbakar karena
panasnya matahari.
Ringkasnya, bahwa shalatnya para awwabin adalah shalat dhuha, karena sabda
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
لاَ
يُحَافَظُ عَلىَ صَلاَةِ الضُّحىَ إِلاَّ أَوَّابٌ , وَهِيَ صَلاَةُ
اْلأَوَّابِيْنَ
“Tidak
menjaga shalat dhuha kecuali awwab, dan ia adalah shalatnya awwabin (orang-orang
yang segera kembali kepada Allah).” (HR. Ibnu Huzaimah dan al-Hakim, Albani
menghasankannya dalam kitab Shahih Jami’ dari hadits Abu Hurairah, 1263/2).
Banyak hadits Nabi yang telah menyebutkan mengenai keutamaan shalat dhuha,
begitu pula perkataan-perkataan ulama terdahulu. Kami cukupkan untuk
menyebutkan sebagiannya saja, maka sepantasnya bagi seorang muslim untuk
senantiasa melakukan shalat dhuha, Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata:
«
أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي صل الله عليه وسلم بِثَلاَثٍ: صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَيِ الضُّحىٰ، وَأنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ »
“Kekasihku
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berwasiat kepadaku dengan tiga hal, ‘Puasa
tiga hari setiap bulan, dua rakaat dhuha dan agar aku melakukan witir sebelum
tidur.” (HR. Bukhari Muslim)
Shalat dhuha
adalah shalat Isyraq (matahari terbit) atau shalat Syuruq, tetapi ia jika
dilakukan setelah terbit matahari dinamakan shalat Syuruq, dan jika dilakukan
setelah itu dinamakan dhuha, dan shalat syuruq adalah yang diisyaratkan oleh
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sabdanya:
“Barang
siapa shalat subuh berjamaah kemudian duduk berdzikir kepada Allah hingga
matahari terbit, kemudian shalat dua rakaat maka bagiya pahala seperti pahala
haji dan umrah.” (HR Tirmidzi).
Hukumnya:
Shalat Dhuha adalah sunnah, Imam Nawawi Rahimahullah berkata, “Itu adalah
madzhab kami dan madzhab sebagian besar para salaf dan para ahli fiqih
belakangan secara keseluruhan.”
Imam Ibnul
Qoyyim Rahimahullah telah mengumpulkan pendapat pendapat mengenai hukumnya
hingga mencapai enam perkataan, dan pendapat yang paling rajih adalah
bahwasanya shalat dhuha itu sunnah yang dianjurkan, sebagaimana ketetapan Ibnu
Daqiq al-‘Ied dan Shan’ani dalam Subulus Salam, asy-Syaukani dalam kitab Nailul
Authar. Asy-Syaukani berkata, “Dan tidak menjadikanmu samar bahwasanya
hadits-hadits yang datang dengan penetapan shalat dhuha telah mencapai batasan
yang sebagian daripadanya tidak kurang dari tuntutan menganjurkannya.” (60/3)
Wallahu A’lam.
Waktunya:
Mulai setelah matahari terbit dan ketinggiannya seukuran tombak, dan hal itu
terjadi kira kira lima belas menit setelah matahari terbit, dan habis ketika
posisi matahari tegak di langit sesaat menjelang tergelincir. Dan sebagian para
ulama mengukurnya dengan perkiraan sepuluh menit sebelum masuk waktu dhuhur.
Dan yang lebih hati hati hendaklah hal itu dilakukan sebelum waktu tersebut
sehingga tidak terjatuh pada waktu yang dilarang, sebagaimana hadits ‘Uqbah bin
‘Amir Radhiallahu ‘Anhu dia berkata,
“Tiga waktu
kami dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk melakukan
shalat atau mengubur pada waktu waktu tersebut orang yang meninggal di antara
kami; ketika matahari terbit hingga meninggi, ketika matahari tegak hingga
tergelincir dan ketika matahari hampir tenggelam di ufuk barat.” (HR. Muslim).
Shalat dhuha tidak dilakukan segera setelah matahari terbit, tetapi hingga
matahari naik tinggi seukuran tombak atau dengan bentuk yang betul-betul jelas.
Sifatnya:
Paling sedikit adalah dua raka’at dan paling banyaknya delapan raka’at.
Dikatakan pula dua belas raka’at. Didalamnya membaca surat al-Fatihah serta apa
yang mudah dari al-Qur’an. Tidak ada riwayat satu bacaanpun yang khusus dibaca
pada dua rakaat tersebut.
Tidak mengapa melakukan shalat dhuha empat raka’at dengan sekali salam atau dua
kali salam, dan yang lebih utama adalah dengan dua kali salam. Yaitu
mengucapkan salam pada setiap dua raka’at, karena sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam,
“Shalat
malam dan siang adalah dua raka’at dua raka’at.” (HR Ahmad, Abu Dawud Turmudzi,
Nasa’i, Ibnu Majah dan Syaikh al-Albani Menshahihkannya).
Para ulama telah sepakat bahwa paling sedikitnya adalah dua raka’at, dan mereka
berselisih pendapat mengenai raka’at paling banyak dalam shalat dhuha, satu
kelompok dari mereka berpendapat kepada bahwasanya tidak ada batasan untuk
jumlah raka’at paling banyak, dan ini adalah pilihan Ibnu Jarir ath-Thabari
Radhimahullah, berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata,
“Adalah Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dhuha empat raka’at, dan
menambah apa yang dikehendaki Allah.”
Seseorang bertanya kepada Aswad bin Yazid, “Berapa raka’at aku shalat dhuha?”
Beliau menjawab, “Berapapun semaumu.”
Sebagian besar ulama berpendapat bahwasanya shalat dhuha memiliki jumlah
raka’at tertentu, dan mereka berselisih pendapat di dalamnya dengan
perselisihan yang banyak, dan yang rajih (benar) adalah shalat dhuha itu dua
belas raka’at, karena beberapa dalil, diantaranya, hadits Anas Radhiallahu
‘Anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Barang
siapa shalat dhuha dua belas raka’at, maka Allah akan membangunkan baginya
sebuah istana di dalam surga.” (HR. Tirmidzi).
Dan hadits ini memiliki beberapa penguat yang dimana Ibnu Hajar telah
menyebutkannya dalam Fathul Bari.
Maka berdasarkan hal tersebut, barang siapa shalat dua raka’at maka telah
mencukupinya, dan barangsiapa menambahnya maka lebih baik. Dan yang paling
utama adalah tidak menambah lebih dari dua belas raka’at, karena ia merupakan
raka’at terbanyak yang sesuai dengan dalil yang shahih. Dan yang paling utama
shalat dilakukan sendirian, setiap dua raka’at salam, dan sekali waktu boleh
dilakukan dengan berjama’ah.”
Ibnu Wahb telah meriwayatkan dari Malik bahwasanya beliau berkata, “Tidak
mengapa seseorang menjadi imam dalam shalat sunnah. Adapun agar menjadi sebuah
hal yang terkenal dan manusia berkumpul untuknya, maka tidak boleh.
Yang sunnah dalam shalat malam adalah memanjangkan bacaan dan dalam shalat
dhuha adalah meringankannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Telah disebutkan dalam Shahih Bukhari, dari Ummi
Hani’ Radhiallahu ‘Anha,
“Bahsawanya
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memasuki rumahnya pada hari pembukaan kota
Makkah, maka beliau mandi dan shalat delapan raka’at, dan aku belum pernah
melihat shalat sama sekali yang lebih ringan darinya, selain bahwa beliau
menyempurnakan ruku’ dan sujudnya”.
Dan kami tidak mengetahui suatu doapun berdasarkan hadits shahih yang
dikhususkan untuk shalat dhuha. Sebagian mereka mengatakan apabila selesai dari
shalat dhuha, berdoa dengan doa ini,
اَللَّهُمَّ
إِنَّ الضُّحَى ضُحَاؤُكَ وَالْبَهَاءُ بَهَاؤُكَ وَالْجَمَالُ جَمَالُكَ …
“Ya Allah
sesungguhnya Dhuha adalah dhuhamu, dan kecantikan adalah kecantikanmu, serta
keindahan adalah keindahanmu…”, doa ini tidak ada dasarnya dari As-Sunnah, dan
dalam doa tersebut didalamnya terdapat kekacauan lafadz-lafadznya, memaksakan
(kalimat), serta tawassul yang tidak disyariatkan, maka janganlah berdoa
dengannya.
Tidak wajib
membaca surat Adh-Dhuha, tetapi cukup bagimu membaca di dalam shalat dhuha
dengan ayat apa saja yang mudah dari al-Qur’an. Wallahu a’lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar