Rabu, 22 Mei 2013
In:
Islamiyah
SEJARAH KHITAN DALAM ISLAM
Allah itu Mahaindah, dan
sangat menyukai keindahan. Demikian hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim.
Dalam berbagai
riwayat disebutkan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman.
Ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan betapa besarnya perhatian Islam terhadap
keindahan dan kebersihan.
Sebab, bersih itu berarti sehat, dan rapi itu
berarti indah. Islam sangat membenci segala keburukan dan kekumuhan.
Karena itu, dalam banyak hal, Islam mengajarkan
kepada pemeluknya untuk senantiasa membersihkan diri, baik dengan mandi,
berwudhu, maupun bertayamum. Tujuannya agar bersih secara fisik. Sedangkan
supaya bersih psikis (kejiwaan), umat Islam diperintahkan untuk senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah.
Salah satu ajaran Islam yang disyariatkan kepada
pemeluknya adalah berkhitan, atau memotong sebagian kulit yang menutupi alat
kemaluan laki-laki atau perempuan. Secara bahasa, kata ‘khitan’ berasal dari
bahasa Arab, yakni khatana yang berarti memotong atau mengerat.
Sedangkan menurut istilah, sebagaimana disebutkan
dalam Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, khitan adalah memotong
kulit yang menutupi ujung zakar atau kemaluan laki-laki dan membuang bagian
dari kelentit atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang
vulva di bagian atas kemaluan perempuan.
Khitan dikenal di berbagai belahan dunia, seperti
di benua Amerika, Australia, dan Afrika. Di Indonesia, istilah khitan ini juga
dikenal dengan istilah sunat. Kebiasaan sunat (khitan) ini telah dilakukan
sejak zaman prasejarah. Ini berdasarkan hasil pengamatan dari gambar-gambar di
gua yang berasal dari Zaman Batu dan makam Mesir purba.
Namun, alasan khitan ini pada masa itu belum
diketahui secara jelas. Tetapi, beberapa pendapat memperkirakan bahwa tindakan
khitan ini merupakan bagian dari ritual pengorbanan atau persembahan, tanda
penyerahan pada Yang Mahakuasa, langkah menuju kedewasaan, tanda kekalahan atau
perbudakan, atau upaya untuk mengubah estetika atau seksualitas.
Sejarah Awal Khitan:
Dalam sejarah Islam, khitan sudah dikenal sejak
zaman Nabi Ibrahim AS.
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah RA oleh Imam Bukhari, Muslim, Baihaqi, dan Imam
Ahmad, bahwa Nabi SAW bersabda, “Ibrahim Khalil Ar-Rahman berkhitan setelah
berumur 80 tahun dengan menggunakan kapak.”
Namun, ada sejumlah riwayat dan literatur yang
menerangkan bahwa khitan ini telah ada sejak zaman Nabi Adam AS. Bahkan,
bangsa-bangsa terdahulu juga melakukan hal yang sama.
Ketika syariat ini dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim
AS, karena pada masa itu banyak keturunan Nabi Adam AS yang telah melupakan
syariat ini. Karena itu, Nabi Ibrahim AS diperintahkan untuk menghidupkan
kembali tradisi yang menjadi fitrah umat manusia itu.
Pada masa Babilonia dan Sumeria Kuno, yakni sekitar
tahun 3500 Sebelum Masehi (SM), mereka juga sudah melakukan praktik berkhitan
ini. Hal ini diperoleh dari sejumlah prasasti yang berasal dari peradaban
bangsa Babilonia dan Sumeria Kuno. Pada prasasti itu, tertulis tentang
praktik-praktik berkhitan secara perinci.
Begitu juga pada masa bangsa Mesir Kuno sekitar
tahun 2200 SM. Prasasti yang tertulis pada makam Raja Mesir yang bernama
Tutankhamun, tertulis praktik berkhitan di kalangan raja-raja (Firaun).
Prasasti tersebut menggambarkan bahwa mereka
menggunakan balsam untuk menghilangkan rasa sakit, saat sebagian kulit kemaluan
laki-laki dipotong. Tujuan mereka melaksanakan khitan ini adalah untuk
kesehatan.
Tak hanya Babilonia, Sumeria, dan Mesir Kuno, orang-orang
Yahudi juga mengenal tradisi berkhitan.
Mereka menaruh perhatian besar terhadap praktik
berkhitan ini. Dalam kitab Talmud—tafsir atas Zabur, yakni kitab yang
diturunkan kepada Nabi Daud AS—disebutkan, orang yang tidak berkhitan termasuk
dalam golongan orang musyrik yang jahat.
Dalam kepercayaan kaum Nasrani juga demikian.
Ajaran agamanya mengajarkan umatnya untuk berkhitan. Dalam Injil atau Kitab
Ulangan disebutkan, “Bersunatlah (khitan) untuk Tuhan; dan buanglah kotoran
hatimu wahai orang-orang Yahuza dan penduduk Orsleim!”
Bahkan, banyak teks injil yang menyatakan bahwa
berkhitan merupakan suatu hal yang sangat baik. Dalam Injil Barnabas disebutkan
bahwa Yesus melakukan sunat (khitan) dan memerintahkan para pengikutnya supaya
bersunat. Namun faktanya, banyak orang Kristen yang tidak melaksanakannya.
Bangsa Arab jahiliyah, yakni sebelum datangnya
agama Islam, juga sudah terbiasa melakukan khitan. Hal ini dilakukan untuk
mengikuti tradisi leluhur mereka, yaitu ajaran Ibrahim AS.
Selanjutnya, ajaran berkhitan yang dicontohkan Nabi
Ibrahim tersebut diikuti oleh para Nabi dan Rasul sesudahnya. Mereka juga
mengajarkan hal itu kepada umatnya masing-masing.
Pada masa Islam, khitan dilakukan oleh Rasulullah
SAW terhadap kedua cucunya, Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Husein bin Ali bin
Abi Thalib, pada saat masing-masing baru berusia tujuh hari.
Sementara itu, menurut hadis yang diriwayatkan oleh
Anas bin Malik dan Ibnu Abdul Bar, Rasulullah SAW telah berkhitan sejak
dilahirkan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar