Minggu, 12 Mei 2013
In:
Fiqih~Sholat
KEKUATAN DAHSYAT PADA NIAT
Dahulu ada
seseorang dari Bani Israil yang alim dan rajin beribadah kepada Allah SWT.
Suatu ketika ia didatangi sekelompok orang. Mereka berkata, ”Di daerah ini ada
suatu kaum yang tidak menyembah Allah, tapi menyembah pohon.” Mendengar hal itu
ia segera mengambil kampak dan bergegas untuk menebang pohon itu. Melihat
gelagat tersebut, iblis mulai beraksi da
n berusaha menghalangi niat orang alim itu. Ia
mengecohnya dengan menyamar sebagai orang tua renta yang tak berdaya.
Didatanginya orang itu setelah ia tiba di lokasi pohon yang dimaksud.
”Apa yang hendak kau lakukan?” tanya iblis. Orang alim itu menjawab, ”Aku mau
menebang pohon ini!”
“Apa salahnya pohon ini?” tanya iblis lagi.
“Ia menjadi sesembahan orang-orang selain Allah. Ketahuilah ini bukan termasuk
ibadahku.” Jawab orang alim itu.
Tentu saja iblis tidak menginginkan niat orang itu terlaksana dan tetap
berusaha untuk menggagalkannya.
Karena iblis berusaha menghalang-halanginya, orang alim itu membanting iblis
dan menduduki dadanya. Di sinilah iblis yang licik mulai beraksi. ”Lepaskan aku
supaya aku dapat menjelaskan maksudku yang sebenarnya,” kata iblis.
Orang alim itu kemudian berdiri meninggalkan iblis sendirian. Tapi ia tidak
putus asa. ”Hai orang alim, sesungguhnya Allah telah menggugurkan kewajiban ini
atas dirimu karena engkau tidak akan menyembah pohon ini. Apakah engkau tidak
tahu bahwa Allah mempunyai Nabi dan Rasul yang harus melaksanakan tugas ini.”
Orang alim tersebut tak mempedulikannya dan tetap bersikeras untuk menebang
pohon itu. Melihat hal itu, iblis kembali menyerang. Tapi orang alim itu dapat
mengalahkanya kembali. Merasa jurus pertamanya gagal, iblis menggunakan jurus
kedua. Ia meminta orang alim itu untuk melepaskan injakan di dadanya.
”Bukankah engkau seorang yang miskin. Engkau juga sering meminta-minta untuk
kelangsungan hidupmu,” tanya iblis.
”Ya, memang kenapa,” jawab orang itu tegas, menunjukkan bahwa ia tak akan
tergoda.
“Tinggalkan kebiasaan yang jelek dan memalukan itu. Aku akan memberimu dua
dinar setiap malam untuk kebutuhanmu agar kamu tidak perlu lagi meminta-minta.
Ini lebih bermanfaat untukmu dan untuk kaum muslimin yang lain daripada kamu
menebang pohon ini,” kata Iblis merayu.
Orang itu terdiam sejenak. Terbayang berbagai kesulitan hidup seperti yang
didramatisasi iblis.
Rupanya bujuk rayu iblis manjur. Ia pun mengurungkan niatnya. Akhirnya ia
kembali ke tempatnya beribadah seperti biasa. Esok paginya ia mencoba
membuktikan janji iblis. Ternyata benar. Diambilnya uang dua dinar itu dengan
rasa gembira. Namun itu hanya berlangsung dua kali. Keesokan harinya ia tidak
lagi menemukan uang. Begitu juga lusa dan hari-hari selanjutnya. Ia pun marah
dan segera mengambil kapak dan pergi untuk menebang pohon yang tempo hari tidak
jadi ditebangnya.
Lagi-lagi iblis menyambutnya dengan menyerupai orang tua yang tak berdaya.
”Mau ke mana engkau wahai orang alim?”
”Aku hendak menebang pohon sialan itu,” jawabnya emosi.
“Engkau tak akan mampu untuk menebang pohon itu lagi. Percayalah! Lebih baik
engkau urungkan niatmu,” jawabnya melecehkan.
Orang alim itu berusaha melawan Iblis dan berupaya untuk membantingnya seperti
yang pernah dilakukan sebelumnya.
Kemudian iblis melawannya dan berhasil membantingnya.
Sambil menduduki dadanya, iblis berkata, ”Berhentilah kamu menebang pohon ini
atau aku akan membunuhmu.”
Orang alim itu kelihatannya tidak punya tenaga untuk mengalahkan iblis seperti
yang pernah dilakukannya sebelum itu.
”Engkau telah mengalahkan aku sekarang. Lepaskan dan beritahu aku, mengapa
engkau dapat mengalahkanku,” tanya orang alim.
Iblis menjawab, ”Itu karena dulu engkau marah karena Allah dan berniat demi
kehidupan akhirat. Tetapi kini engkau marah karena kepentingan dunia, yaitu
karena aku tidak memberimu uang lagi.”
Kisah yang diuraikan Imam Al-Ghazali dalam kitab Mukasyafatul Qulub itu memberi
pelajaran bahwa betapa pentingnya nilai sebuah keikhlasan, yakni berbuat
kebajikan tanpa pamrih kecuali hanya mencari ridho Allah SWT. Ikhlas ini
merupakan ruh ibadah kepada Allah SWT. Karena itu untuk mewujudkan ibadah yang
berkualitas kepada Allah SWT kita harus pandai-pandai menata niat. Niat inilah
yang akan membawa konsekuensi pada diterima atau tidaknya suatu ibadah yang
kita lakukan.
Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niatnya,
seseorang itu akan memperoleh apa yang telah diniatkannya. Barang siapa hijrahnya
itu karena Allah dan rasulnya, maka ia akan memperoleh pahala dan barang siapa
hijrahnya itu karena harta atau wanita, maka ia akan memperoleh apa yang telah
diniatkanya itu.”
Asal muasal hadits ini adalah ketika Rasulullah SAW berdakwah di negeri Mekah
merasa sulit karena selalu mendapatkan perlawanan hebat dari kaum Quraisy.
Beliau akhirnya mendapat perintah untuk hijrah ke Yatsrib (Madinah). Beliau pun
memerintahkan para sahabat untuk berhijrah. Tapi para sahabat ternyata punya
motivasi yang berbeda-beda dalam melakukan hijrah. Mulai dari sahabat yang
ikhlas mencari keridhoan Allah SWT hingga alasan wanita, harta, dan benda.
Karena itu Rasulullah menginstruksikan kepada para sahabat untuk menata niat
mereka melalui hadits itu.
Memang niat mudah diucapkan namun sukar untuk dipraktikkan. Saat kita punya
niat baik, maka saat itu juga iblis telah bersiap siaga untuk menjerumuskan dan
merusaknya. Padahal awalnya niat itu murni karena Allah. Itulah sebabnya, Ibnu
Qoyim mengatakan bahwa ikhlas itu membutuhkan keikhlasan (al-ikhlashu yahtaju
ilal ikhlash).
Niat itu bersarang dalam hati. Agar ia tetap terjaga utuh, seseorang harus
menata niatnya sebelum melakukan amal, ketika melakukannya, dan sesudah
selesai. Dan hal itu bisa dimiliki dengan melalui berbagai latihan (riyadhah)
mental yang intensif, yakni berusaha menata niat, karena ia tidak akan serta
merta bersih dengan sendirinya.
Yang perlu diwaspadai, iblis menggoda manusia sesuai dengan kualitas
ketaatannya kepada Allah. Semakin berkualitas seseorang kepada Allah, maka akan
digoda oleh iblis kelas berat. Di sinilah pentingnya kita selalu memohon
perlindungan kepada Allah SWT untuk menjaga niat.
Apalagi manusia memiliki nafsu yang cenderung mengarahkan kepada hal-hal yang
buruk dan jahat. Bila ia tidak diarahkan sebagaimana mestinya, maka ia akan
bekerja sama dengan iblis untuk merusak niat seseorang, baik itu lewat penyakit
ujub, riya, dan sum’ah.
Kunci ibadah adalah ikhlas. Dan ikhlas itu ada di dalam hati orang yang
melakukan amal tersebut. Maka sah atau tidaknya pahala amal itu, tergantung
pada niat ikhlas atau tidak hati pelakunya. Jika dalam melakukan amal itu
hatinya bertujuan untuk mendapat pujian dari manusia, maka hal itu berarti
tidak ikhlas. Akibatnya amal ibadah yang diusahakannya tidak menerima pahala
dari Allah.
Kita benar-benar diperintahkan oleh Allah untuk memasang niat dengan ikhlas
dalam setiap ibadah kita. Jangan dicampuri niat itu dengan hal yang lain, yang
nantinya akan merusak pahala amal ibadah tersebut. Allah berfirman:
”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus.” (Q.S Al-Bayyinah: 5)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar