Rabu, 22 Mei 2013
In:
Nahdlatul 'Ulama
TOKOH BERPENGARUH NU~ KH. IDHAM CHALID
Menyebut
nama Kiai Idham Chalid, ingatan kita tentu akan melayang pada gonjang-ganjing
NU pada tahun 1982-1984, yang melahirkan sekaligus menghadapkan dua kubu
tokoh-tokoh nahdliyyin: kubu Cipete dan kubu Situbondo.
Konflik internal NU itu juga yang kemudian membuat Idham dianggap kontroversial.
Bahkan ia dijuluki “politikus gabus”, karena dianggap tidak memiliki pendirian.
Tak banyak yang mau melihat sisi lain kebijakan-kebijakan Kiai Idham, yang
sebenarnya sangat NU dan sangat Sunni. Sebagai politisi besar NU yang lihai,
Idham memang memainkan dua lakon berbeda, sebagai politisi dan ulama. Sebagai
politisi, ia melakukan gerakan strategis, dan bila perlu kompromistis. Sebagai
ulama, ia bersikap fleksibel, tapi tetap tidak terlepas dari jalur Islam dan
tradisi yang diembannya.
Semua itu ia lakukan sebagai bagian dari upaya kerasnya menjaga stabilitas
kalangan bawah nahdliyyin, yang menjadi tanggung jawabnya, agar selamat fisik
dan spiritual melewati masa-masa gawat transisi dari Orde Lama ke Orde Baru,
yang berdarah-darah.
Strategi politik tersebut dilandaskan pada beberapa prinsip. Di antaranya,
luwes, memilih jalan tengah ketimbang sikap memusuhi dan konfrontasi, yang
justru membahayakan kepentingan umat. Menggunakan pendekatan partisipatoris
terhadap pemerintah sehingga mampu memengaruhi kebijakan penguasa, demi
kemaslahatan umat.
Menurut Idham, NU harus ikut andil dalam kekuasaan sebagai kekuatan
penyeimbang. Cara ini dianggap lebih tepat dalam menghasilkan
kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro umat, daripada berada di luar
kekuasaan, yang justru membuat sulit bergerak.
Efek kebijaksanaannya sangat luar biasa. Ia menjadi sangat berakar di kalangan
bawah kaum nahdliyyin, terutama di luar Jawa, dan mampu bertahan di kancah
perpolitikan tanah air lebih dari tiga dekade. Namun, dalam intrnal nahdliyyin
ada anggapan bahwa keterlibatan NU di wilayah politik di bawah kepemimpinannya
terlalu besar. Maka, dengan memanfaatkan isu kembali ke khiththah 1926 yang
tengah digaungkan kalangan muda NU di Muktamar Situbondo 1984, pihak lawan
membuat Idham terjatuh dari kursinya.
Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan
Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan. Ia anak sulung dari lima
bersaudara. Ayahnya, H. Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai
Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin.
Sejak kecil Idham dikenal sangat cerdas dan pemberani. Saat masuk SR, ia
langsung duduk di kelas dua dan bakat pidatonya mulai terlihat dan terasah.
Keahlian berorasi itu kelak menjadi modal utama Idham Chalid dalam meniti
karier di jagat politik.
Selepas SR, Idham melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah, yang
didirikan oleh Tuan Guru Abdurrasyid, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, pada
tahun 1922. Kebetulan, saat Idham bersekolah di sana, beberapa guru lulusan
Pesantren Gontor, yang terkenal dengan kelebihannya dalam pendidikan bahasa,
direkrut untuk membantu mengembangkan pendidikan. Idham, yang sedang tumbuh dan
gandrung dengan pengetahuan, mendapatkan banyak kesempatan untuk mendalami
bahasa Arab, bahasa Inggris, dan ilmu pengetahuan umum.
Di mata para siswa dan wali murid, guru-guru alumni Gontor itu sangat hebat.
Tak mengherankan, banyak siswa, termasuk Idham, bercita-cita melanjutkan
pendidikannya ke pesantren yang didirikan oleh K.H. Imam Zarkasyi di Ponorogo, Jawa
Timur, itu.
Di Gontor, otak cerdas Idham Chalid lagi-lagi membuat namanya bersinar.
Kegiatan favoritnya di pesantren adalah kepanduan, yang kelak ditularkan kepada
murid-muridnya di Amuntai dan di Cipete. Kesempatan belajar di Gontor juga
dimanfaatkan Idham untuk memperdalam bahasa Jepang, Jerman, dan Prancis.
Tamat dari Gontor, 1943, Idham melanjutkan pendidikan di Jakarta. Di ibu kota,
kefasihan Idham dalam berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon sangat kagum.
Pihak Jepang juga sering memintanya menjadi penerjemah dalam beberapa pertemuan
dengan alim ulama. Dalam pertemuan-pertemuan itulah Idham mulai akrab dengan
tokoh-tokoh utama NU.
Ketika Jepang kalah perang dan Sekutu masuk Indonesia, Idham Chalid bergabung
ke dalam badan-badan perjuangan. Menjelang kemerdekaan, ia aktif dalam Panitia
Kemerdekaan Indonesia Daerah di kota Amuntai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan,
ia bergabung dengan Persatuan Rakyat Indonesia, partai lokal, kemudian pindah
ke Serikat Muslim Indonesia.
Tahun 1947 ia bergabung dengan Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia
Kalimantan, yang dipimpin Hassan Basry, muridnya saat di Gontor. Usai perang
kemerdekaan, Idham diangkat menjadi anggota Parlemen Sementara RI mewakili
Kalimantan. Tahun 1950 ia terpilih lagi menjadi anggotaDPRS mewakili Masyumi. Ketika NU memisahkan
diri dari Masyumi, tahun 1952, Idham memilih bergabung dengan Partai Nahdlatul
Ulama dan terlibat aktif dalam konsolidasi internal ke daerah-daerah.
Idham memulai kariernya di NU dengan aktif di GP Ansor. Tahun 1952 ia diangkat
sebagai ketua PB Ma’arif, organisasi sayap NU yang bergerak di bidang
pendidikan. Pada tahun yang sama ia juga diangkat menjadi sekretaris jenderal
partai, dan dua tahun kemudian menjadi wakil ketua. Selama masa kampanye Pemilu
1955, Idham memegang peran penting sebagai ketua Lajnah Pemilihan Umum NU.
Sepanjang tahun 1952-1955, ia, yang juga duduk dalam Majelis Pertimbangan
Politik PBNU,
sering mendampingi Rais Am K.H. Abdul Wahab Chasbullah berkeliling ke seluruh
cabang NU di Nusantara.
Dalam Pemilu 1955, NU berhasil meraih peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Karena perolehan suara
yang cukup besar dalam Pemilu 1955, pada pembentukan kabinet tahun berikutnya,
Kabinet Ali Sastroamijoyo, NU mendapat jatah lima menteri, termasuk satu kursi
wakil perdana menteri, yang oleh PBNU diserahkan
kepada Idham Chalid.
Pada Muktamar NU ke-21 di Medan bulan Desember tahun yang sama, Idham terpilih
menjadi ketua umum PBNU, menggantikan K.H. Muhammad Dahlan.
Kabinet Ali Sastroamijoyo hanya bertahan setahun, berganti dengan Kabinet
Djuanda. Namun Idham Chalid tetap bertahan di posisi wakil perdana menteri
sampai Dekrit Presiden tahun 1959. Idham kemudian ditarik menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Agung, dan setahun kemudian menjadi wakil ketua MPRS.
Pertengahan tahun 1966 Orde Lama tumbang, dan tampillah Orde Baru. Namun posisi
Idham di pemerintahan tidak ikut tumbang. Dalam kabinet Ampera, yang dibentuk
Presiden Soeharto, ia dipercaya menjabat menteri kesejahteraan rakyat sampai
tahun 1970 dan menteri sosial sampai 1971.
Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan Idham kembali mengulang sukses dalam
Pemilu 1971. Namun setelah itu pemerintah melebur seluruh partai menjadi hanya
tiga partai: Golkar, PDI, danPPP. Dan NU tergabung di
dalam PPP.
Idham Chalid menjabat presiden PPP, yang dijabatnya sampai tahun 1989. Ia juga terpilih
menjadi ketua DPR/MPR RI
sampai tahun 1977. Jabatan terakhir yang diemban Idham Chalid adalah ketua
Dewan Pertimbangan Agung.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Total Tayangan Halaman
10176
0 komentar:
Posting Komentar