Rabu, 22 Mei 2013
In:
Nahdlatul 'Ulama
TOKOH BERPENGARUH NU~ KH. ABDURRAHMAN WAHID
Saat Muktamar Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa
Timur, tahun 1984, sempat terjadi suasana yang panas. Bukan hanya karena
konflik kubu Situbondo dan kubu Cipete, melainkan juga karena kubu Situbondo
terancam pecah akibat K.H. Machrus Ali, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo,
Kediri, menolak K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi ketua umum
Tanfidziyah Pengurus Besar NU apabila tidak mau melepaskan jabatannya sebagai ketua
Dewan Kesenian Jakarta. Alasannya, ketua umum PBNU tidak
pantas ngurusi “kethoprak”.
Namun ternyata Gus Dur tidak mau mundur. Ia bersikeras lebih baik tidak jadi
ketua umum PBNUdaripada
melepas jabatan ketua DKJ. Sikap keras Gus Dur sekilas tampak agak menyimpang dari
tradisi keulamaan NU, yakni tunduk kepada kiai. Apalagi K.H. Machrus saat itu
rais Syuriyah Pengurus Wilayah NU Jawa Timur.
Masalahnya kemudian terselesaikan saat K.H. Achmad Sidiq dari Jember bercerita
kepada K.H. Machrus Ali. Ia bermimpi melihat K.H. Wahid Hasyim, ayah Gus Dur,
berdiri di atas mimbar. Spontan K.H. Machrus berubah, sikap mendukung Gus Dur
tanpa syarat. Ia menakwilkan mimpi itu, K.H. Wahid Hasyim merestui Gus Dur.
Sekalipun lebih tua, K.H. Machrus tawadhu kepada K.H. Wahid Hasyim, karena K.H.
Wahid Hasyim adalah putra Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy`ari, pendiri NU dan
gurunya.
Akhirnya Gus Dur terpilih sebagai ketua umum PBNU, dan pada dua muktamar berikutnya ia kembali terpilih
sebagai ketua umum. Maka selama lima belas tahun (1984-1999) NU berada dalam
kendali Gus Dur.
Kejadian di tahun 1984 itu menunjukkan kuatnya tradisi keulamaan di tubuh NU.
Dua pilar dalam tradisi itu adalah nasab, yaitu atas dasar hubungan darah, dan
hubungan patronase kiai-santri atau guru-murid.
Gus Dur memiliki nasab yang sangat kuat, baik dari jalur ayah maupun ibu.
Selain cucu K.H. Hasyim Asy-ari dari jalur ayah, ia pun cucu K.H. Bisri
Syansuri dari jalur ibu. K.H. Bisri Syansuri, rais am ketiga NU dan pengasuh
Ponpes Denanyar, Jombang, adalah ayahanda Hj. Solichah Wahid Hasyim, ibunda Gus
Dur.
Dalam hubungan patronase kiai-santri, Ponpes Tebuireng merupakan ”kiblat”,
khususnya semasa K.H. Hasyim Asy`ari. Banyak kiai besar yang belajar di
Tebuireng. Dalam tradisi keulamaan NU, penghormatan seorang santri kepada putra
kiainya sama dengan kepada kiainya. Bahkan, sampai kepada cucu kiainya. Karena
itu, putra atau cucu kiai dipanggil “Gus”.
Wajar jika Gus Dur memiliki superioritas tinggi di mata nahdliyin. Apalagi, ia
juga memiliki kemampuan keilmuan yang dipandang sangat tinggi di antara para
tokoh NU. Meskipun tidak dikenal sebagai spesialis dalam salah satu atau
bebrapa cabang ilmu keislaman, ia sangat menguasai kitab kuning, juga
kitab-kitab kontemporer yang disusun para ulama di masa belakangan. Selain
mumpuni dalam ilmu-ilmu agama, ia pun menguasai berbagai ilmu lain dengan
wawasan yang sangat luas.
Di masa Gus Dur, pamor NU terus menaik. Ia berhasil membawa NU menjadi kekuatan
yang berskala nasional sebagai pengimbang kekuasaan, yang waktu itu tak
terimbangi oleh siapa pun. Setelah sebelumnya kurang diperhitungkan, kecuali di
saat-saat pemilu, NU kemudian berubah menjadi betul-betul dikenal dan dihormati
banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. Jika sebelumnya jarang
dibicarakan orang, dalam waktu singkat NU berubah menjadi obyek studi dari
banyak sarjana di mana-mana. Semua itu tak dapat dilepaskan dari peran Gus Dur,
baik sebagai ketua umum PBNUmaupun sebagai pribadi dalam berbagai kapasitasnya.
Ya, Gus Dur memang punya kharisma yang besar di mata para kiai, apalagi di
depan umatnya. Umat NU ketika itu sedang mencari tokoh yang menjadi jendela
menuju dunia modern. Ada kebanggaan di kalangan NU terhadap Gus Dur, karena ia
membawa pesantren dan NU ke dunia luar yang luas. Ia membuka masyarakat NU
untuk sadar bahwa kita hidup dalam dunia global.
Sejak di bawah kepemimpinan Gus Dur, peran NU sebagai jam`iyyah maupun peran
tokoh-tokohnya sebagai individu dari waktu ke waktu semakin kuat dan terus
meluas, termasuk dalam politik. Meskipun secara resmi NU telah menyatakan diri
kembali ke khiththah dan tidak lagi berpolitik praktis, pengaruh politiknya tak
pernah surut, bahkan semakin menguat. Tokoh-tokoh NU yang terlibat di pentas
politik, meskipun tidak mengatasnamakan NU, semakin banyak.
Munculnya PKB dan partai-partai baru lainnya sangat
mengandalkan dukungan warga NU.
Dinamika politik kemudian terus bergulir. Hanya berselang setahun tiga bulan
setelah pendirian PKB, akhirnya pada bulan Oktober 1999 Gus Dur terpilih
sebagai presiden RI yang keempat melalui pemilihan langsung yang dramatis di MPR. Itulah
puncak karier NU di pentas politik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Total Tayangan Halaman
10176
0 komentar:
Posting Komentar